Rahasia di Balik Tren Bed Rotting Apakah Ini Self Care atau Malas
Beberapa waktu terakhir, media sosial dipenuhi dengan istilah baru yang terdengar unik, yaitu bed rotting. Kalau diterjemahkan langsung, artinya seperti “membusuk di tempat tidur”. Kedengarannya agak ekstrem, tapi sebenarnya tren ini sedang banyak dilakukan oleh anak muda yang merasa lelah dengan rutinitas dan tekanan hidup.
Bed rotting bukan sekadar rebahan biasa. Biasanya dilakukan dengan cara berlama-lama di kasur sambil nonton film, scroll TikTok, ngemil, atau bahkan cuma menatap langit-langit kamar tanpa melakukan apa-apa. Buat sebagian orang, aktivitas ini terasa menenangkan dan bisa bantu “reset” energi. Tapi di sisi lain, banyak juga yang menilai kalau ini cuma bentuk kemalasan modern.
Apa Itu Bed Rotting Sebenarnya
Bed rotting muncul sebagai respons dari kehidupan yang semakin cepat dan menuntut. Banyak orang merasa kelelahan secara fisik dan mental karena pekerjaan, kuliah, tugas, atau tekanan sosial. Akhirnya, rebahan di tempat tidur jadi cara paling mudah untuk kabur sejenak dari dunia luar.
Secara psikologis, tren ini bisa dikaitkan dengan kebutuhan untuk self-care — yaitu memberi waktu pada diri sendiri untuk istirahat dan memulihkan tenaga. Namun, kalau dilakukan berlebihan, bisa mengarah ke burnout yang tidak tertangani atau bahkan gejala depresi ringan.
Banyak psikolog menyebut bahwa bed rotting bisa jadi coping mechanism alami ketika seseorang sudah mencapai titik jenuh. Jadi bukan berarti semuanya tentang kemalasan. Kadang tubuh dan pikiran memang memberi sinyal kuat bahwa sudah waktunya istirahat penuh.
Self Care atau Malas Terselubung
Nah, di sinilah perdebatan mulai muncul. Apakah bed rotting itu bentuk self care atau cuma alasan buat malas-malasan? Jawabannya tergantung dari niat dan frekuensinya. Kalau cuma sesekali, itu bisa jadi bentuk kasih sayang ke diri sendiri. Tapi kalau hampir tiap hari dan mulai ganggu rutinitas, bisa jadi ada hal yang perlu diperhatikan lebih dalam.
Self care sejatinya adalah tindakan sadar untuk merawat tubuh dan pikiran. Istirahat termasuk di dalamnya. Namun, saat istirahat berubah jadi kebiasaan menghindar dari tanggung jawab, itu bukan lagi self care, tapi bentuk escapism.
Dalam konteks ini, penting untuk membedakan antara “butuh istirahat” dan “menghindari realitas”. Bed rotting bisa terasa nyaman di awal, tapi kalau terus dilakukan, justru bisa memperparah rasa malas dan kehilangan motivasi.
Kenapa Anak Muda Suka Bed Rotting
Generasi sekarang hidup di era serba cepat. Setiap hari dipenuhi notifikasi, tugas, target, dan ekspektasi. Jadi, ketika ada waktu untuk diam di kasur tanpa tuntutan apa pun, rasanya seperti kebebasan yang luar biasa. Bed rotting jadi semacam bentuk perlawanan halus terhadap budaya produktivitas yang terlalu menekan.
Di media sosial, banyak konten kreator yang membagikan momen bed rotting mereka sebagai bagian dari gaya hidup slow living — hidup lebih pelan, santai, dan mindful. Mereka menampilkan sisi positifnya: menikmati waktu sendiri, recharge energi, dan tidak merasa bersalah untuk beristirahat.
Namun, tren ini juga bisa menimbulkan efek “romantisasi kemalasan”, terutama bagi yang tidak tahu batas sehat antara istirahat dan menunda-nunda kewajiban. Ketika rebahan seharian jadi hal yang dibanggakan, bisa jadi tanda bahwa kontrol diri mulai menurun.
Cara Bed Rotting yang Sehat dan Nggak Bikin Menyesal
Kalau mau ikut tren ini tanpa efek negatif, bisa banget. Bed rotting tetap bisa jadi aktivitas positif asal dilakukan dengan kesadaran penuh. Berikut beberapa cara biar bed rotting tetap bermanfaat:
- Tentukan waktunya — Misalnya hanya di akhir pekan atau setelah hari sibuk. Jangan biarkan jadi rutinitas harian.
- Gunakan untuk refleksi — Gunakan waktu di kasur buat mikirin hal-hal yang bikin stres dan gimana cara menanganinya.
- Jauhkan gadget sebentar — Kadang bed rotting malah bikin makin capek karena terus scroll media sosial.
- Dengerin musik santai — Musik bisa bantu tubuh lebih rileks dan pikiran lebih tenang.
- Perhatikan sinyal tubuh — Kalau udah cukup istirahat, bangun dan lakukan aktivitas ringan biar tubuh nggak kaku.
Bed rotting yang dilakukan dengan niat untuk memulihkan diri bisa jadi bentuk self care yang efektif. Tapi kalau tujuannya untuk lari dari tanggung jawab, justru bisa bikin stres menumpuk di kemudian hari. Kuncinya ada di keseimbangan.
Tanda Bed Rotting Sudah Kebangetan
Meski terlihat sepele, bed rotting yang dilakukan terus-menerus bisa mengarah ke tanda-tanda kelelahan mental. Beberapa sinyal yang perlu diperhatikan antara lain:
- Merasa tidak bersemangat untuk melakukan apa pun
- Waktu istirahat malah bikin tambah lesu
- Mulai menghindari pertemuan sosial atau tugas penting
- Sulit tidur di malam hari karena terlalu banyak waktu di kasur siang hari
- Merasa bersalah tapi tetap ingin rebahan terus
Kalau beberapa tanda di atas mulai terasa, mungkin tubuh dan pikiran sedang butuh istirahat yang lebih berkualitas. Coba ubah cara istirahat dari rebahan pasif ke aktivitas yang lebih menenangkan, seperti jalan santai, journaling, atau meditasi ringan.
Bed Rotting dan Kesehatan Mental
Banyak penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup yang terlalu pasif bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Kurangnya aktivitas fisik bisa menurunkan kadar endorfin, hormon yang membuat seseorang merasa bahagia. Akibatnya, semakin lama berdiam diri di tempat tidur, semakin rentan merasa hampa atau cemas.
Sebaliknya, jika bed rotting dilakukan dengan niat sadar — misalnya untuk menenangkan diri, refleksi, atau melepas stres — aktivitas ini bisa membawa efek positif. Kuncinya adalah menjaga keseimbangan antara istirahat dan aktivitas produktif.
Istirahat bukan dosa. Semua orang butuh waktu untuk berhenti sejenak. Tapi jangan biarkan waktu berhenti itu membuat lupa cara melangkah lagi. Bed rotting bisa jadi teman baik kalau dilakukan dengan bijak, tapi bisa juga jadi jebakan halus kalau tidak disadari batasnya.
Posting Komentar untuk "Rahasia di Balik Tren Bed Rotting Apakah Ini Self Care atau Malas"