Kisah Awal Einstein Ditolak Kampus Hingga Jadi Juru Paten
Kalau kita membayangkan sosok Albert Einstein, apa sih yang pertama kali muncul di kepala? Pasti gambar seorang kakek jenius dengan rambut putih acak-acakan yang ikonik itu, kan? Sosok yang fotonya nempel di mana-mana, dari kaus sampai poster motivasi. Gambaran seorang legenda yang seolah-olah terlahir sudah langsung jadi orang hebat. Padahal, jauh sebelum semua itu, ada sebuah kisah awal Einstein yang jarang banget diceritakan. Kisah tentang seorang pemuda pemberontak, penuh rasa ingin tahu, tapi juga penuh kegagalan dan penolakan.
Ini bukan cerita tentang Einstein sang ikon, tapi tentang Albert, seorang anak muda yang pernah merasakan pahitnya ditolak mentah-mentah oleh kampus impiannya dan terpaksa bekerja di sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan fisika. Ini adalah cerita tentang bagaimana seorang underdog akhirnya mengguncang dunia dari sebuah meja kerja yang membosankan di kantor paten.
Masa Sekolah yang Penuh Pemberontakan
Jauh sebelum namanya menggema di seluruh dunia, Albert Einstein adalah seorang murid yang, jujur saja, agak menyebalkan bagi guru-gurunya. Lahir di Ulm, Jerman, pada 1879, Einstein kecil menunjukkan sifat yang berbeda. Ia bukan tipe murid penurut yang menghafal semua pelajaran tanpa bertanya. Sebaliknya, ia membenci sistem sekolah Jerman yang kaku dan otoriter pada masa itu.
Di Luitpold Gymnasium di Munich, ia sering bentrok dengan para pengajarnya. Baginya, metode belajar dengan hafalan membabi buta itu membunuh kreativitas dan rasa ingin tahu yang sebenarnya. Ia percaya kalau semangat belajar yang sejati datang dari rasa penasaran, bukan dari paksaan atau ketakutan pada ujian. Seorang gurunya bahkan pernah bilang kalau Einstein tidak akan pernah jadi apa-apa. Bayangkan, seorang guru berkata seperti itu pada calon ilmuwan fisika terbesar abad ke-20!
Saking tidak sukanya dengan lingkungan sekolahnya, pada usia 15 tahun, ia memutuskan untuk keluar. Dengan alasan surat dokter yang menyatakan kelelahan saraf, ia meninggalkan sekolahnya di Munich untuk menyusul keluarganya yang sudah pindah ke Milan, Italia. Momen ini menjadi awal dari babak baru hidupnya yang penuh ketidakpastian.
Gagal Total di Ujian Masuk Kampus Impian
Di Italia, menikmati kebebasan dari sekolah yang kaku, Albert Einstein muda punya satu tujuan besar: masuk ke Eidgenössische Polytechnische Schule di Zurich, Swiss, yang sekarang kita kenal sebagai ETH Zurich. Kampus ini adalah salah satu institusi teknik terbaik di Eropa dan menjadi impian banyak calon ilmuwan.
Pada usia 16 tahun, setahun lebih muda dari syarat usia minimal, Einstein nekat berangkat ke Zurich untuk ikut ujian masuk. Penuh percaya diri dengan kemampuannya di bidang sains dan matematika, ia mengerjakan soal-soal itu. Hasilnya? Luar biasa... di satu sisi, dan hancur lebur di sisi lain.
Nilai ujian matematika dan fisikanya jauh di atas rata-rata. Ia melahap soal-soal eksak itu dengan mudah. Tapi sayangnya, ujian masuk tidak hanya terdiri dari dua mata pelajaran itu. Untuk bagian non-sains seperti bahasa Prancis, botani, dan zoologi, nilainya jeblok. Alhasil, pihak kampus menyatakan: Einstein ditolak. Ya, Albert Einstein, nama yang identik dengan kejeniusan, pernah merasakan ditolak oleh universitas impiannya.
Kegagalan ini jadi tamparan keras. Tapi, kepala sekolah politeknik tersebut, terkesan dengan kemampuan matematikanya yang luar biasa, menyarankannya untuk menyelesaikan dulu sekolah menengahnya di kota Aarau, Swiss. Ini adalah sebuah jalan memutar yang tidak pernah ia rencanakan, tapi harus ia ambil.
Akhirnya Mahasiswa, Tapi Tetap Saja Bengal
Setahun di Aarau ternyata menjadi periode yang menyenangkan. Sekolah di sana punya pendekatan yang lebih liberal dan mendorong pemikiran kritis, sesuatu yang Einstein dambakan. Di sinilah ia mendapatkan ijazah yang ia butuhkan.
Dengan ijazah di tangan, ia akhirnya berhasil masuk ke Zurich Polytechnic pada percobaan keduanya. Apakah ia lantas menjadi mahasiswa teladan? Tentu tidak. Sifat pemberontaknya tidak hilang. Ia masih sering bolos kelas-kelas yang menurutnya tidak menarik. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan, melahap karya-karya fisikawan hebat seperti James Clerk Maxwell dan Hermann von Helmholtz sendirian.
Ia merasa kuliah-kuliah itu mengajarkan pengetahuan yang sudah usang. Sementara di luar sana, dunia fisika sedang bergejolak dengan penemuan-penemuan baru. Untungnya, ia punya seorang teman sekelas yang sangat cerdas dan rajin, Mileva Marić. Mileva, yang kelak menjadi istri pertamanya, adalah satu-satunya perempuan di kelas fisika itu. Catatannya yang rapi dan lengkap seringkali menjadi penyelamat Einstein saat waktu ujian tiba. Tanpa Mileva, mungkin cerita akademis Einstein akan jauh lebih berantakan.
Dua Tahun Keputusasaan: Perjuangan Mencari Kerja
Lulus pada tahun 1900, Einstein menghadapi kenyataan pahit. Lulus dari kampus bergengsi tidak memberinya jaminan apa-apa. Sifatnya yang sering menentang dosen dan reputasinya sebagai mahasiswa yang "malas" membuatnya kesulitan mendapatkan rekomendasi. Profesor Heinrich Weber, salah satu dosennya, yang awalnya menyukai Einstein, akhirnya dibuat jengkel oleh kelakuannya dan menolak membantunya.
Inilah awal dari dua tahun paling suram dalam hidup Einstein. Ia menganggur, putus asa, dan terus-menerus mengirim surat lamaran untuk posisi asisten akademik di berbagai universitas di seluruh Eropa. Semuanya ditolak. Satu per satu surat penolakan datang, mengikis kepercayaan dirinya. Ia sampai pada titik di mana ia menulis surat pada ayahnya dengan nada getir, "Aku ini beban bagi keluargaku... Mungkin lebih baik jika aku tidak pernah dilahirkan."
Untuk bertahan hidup, ia terpaksa mengambil pekerjaan serabutan, menjadi guru les sementara di sana-sini. Ini adalah masa-masa perjuangan Einstein yang sesungguhnya. Seorang jenius yang kelak akan mendefinisikan ulang alam semesta, saat itu hanyalah seorang pemuda pengangguran yang nyaris kehilangan harapan.
Sebuah Meja di Kantor Paten Bern
Di tengah keputusasaan itu, secercah cahaya muncul dari seorang teman baiknya di universitas, Marcel Grossmann. Grossmann adalah antitesis dari Einstein; ia mahasiswa yang rajin dan disukai dosen. Melihat temannya kesulitan, Grossmann tidak tinggal diam. Ayah Grossmann punya koneksi dan merekomendasikan Einstein untuk sebuah posisi di Kantor Paten Federal Swiss di Bern.
Setelah menunggu cukup lama, pada tahun 1902, Einstein akhirnya dipanggil untuk wawancara dan diterima. Posisinya: Asisten Pemeriksa Teknis Kelas III. Singkatnya, ia adalah seorang juru paten. Tugasnya adalah memeriksa proposal penemuan atau paten yang diajukan orang-orang, lalu menganalisis apakah ide tersebut orisinal dan bisa bekerja sesuai hukum fisika.
Pekerjaan ini mungkin terdengar membosankan dan jauh dari impiannya menjadi seorang fisikawan akademis. Tapi, pekerjaan di kantor paten Bern ini ternyata adalah sebuah berkah terselubung yang luar biasa. Pekerjaan itu memberinya stabilitas finansial yang ia butuhkan. Gajinya cukup untuk hidup layak dan menikahi Mileva. Lebih penting lagi, pekerjaan itu tidak terlalu menuntut otaknya. Ia bisa menyelesaikan tugasnya dengan cepat, menyisakan banyak sekali waktu luang di mejanya untuk berpikir.
Dan berpikir adalah hal yang paling ia sukai. Setiap hari, setelah selesai memeriksa aplikasi paten soal mesin tik atau alat-alat aneh lainnya, pikirannya akan melayang bebas ke misteri terbesar alam semesta. Ruang, waktu, cahaya, energi, dan materi. Meja kerjanya di kantor paten itu menjadi laboratorium pikirannya yang paling produktif.
1905: Ledakan Jenius dari Seorang Juru Paten
Tahun 1905. Ingat tahun ini baik-baik. Sejarah sains mengenalnya sebagai Annus Mirabilis, atau "Tahun Keajaiban". Saat itu, Albert Einstein masihlah seorang juru paten yang tidak dikenal di dunia akademis. Tidak ada laboratorium canggih, tidak ada tim peneliti, hanya ada otaknya, kertas, dan pena di sela-sela waktu kerjanya.
Dari meja yang sederhana itu, Einstein, sang pemuda yang dulu ditolak kampus, menerbitkan EMPAT makalah ilmiah dalam jurnal fisika paling bergengsi, Annalen der Physik. Keempat makalah ini tidak hanya brilian; mereka secara fundamental mengubah arah fisika selamanya.
- Pertama, tentang Efek Fotolistrik. Ia mengajukan ide radikal bahwa cahaya tidak hanya gelombang, tapi juga terdiri dari partikel-partikel energi yang disebut "kuanta". Ide inilah yang kelak memberinya Hadiah Nobel Fisika dan menjadi dasar dari mekanika kuantum.
- Kedua, tentang Gerak Brown. Ia memberikan bukti matematis yang tak terbantahkan tentang keberadaan atom dengan menganalisis gerakan acak partikel di dalam cairan.
- Ketiga, tentang Teori Relativitas Khusus. Inilah mahakaryanya. Ia merombak total pemahaman manusia tentang ruang dan waktu, menyatakan bahwa keduanya bersifat relatif tergantung pada pengamat. Konsep seperti dilatasi waktu (waktu melambat pada kecepatan tinggi) lahir dari sini.
- Keempat, tentang Kesetaraan Massa dan Energi. Sebagai catatan tambahan dari teori relativitasnya, ia menurunkan persamaan paling terkenal dalam sejarah: E = mc². Persamaan sederhana yang menunjukkan bahwa massa dan energi adalah dua sisi dari koin yang sama, sebuah konsep yang menjadi dasar energi nuklir.
Seorang juru paten berusia 26 tahun, dalam satu tahun, telah meletakkan fondasi untuk dua pilar fisika modern: relativitas dan teori kuantum. Pemuda yang pernah dianggap gagal, yang surat lamarannya dibuang ke tempat sampah, kini telah memaksa seluruh komunitas ilmiah dunia untuk menoleh dan mendengarkan. Perjuangan panjangnya, dari penolakan hingga meja paten yang membosankan, ternyata adalah jalan memutar yang membawanya menuju keabadian dalam sejarah sains.
Posting Komentar untuk "Kisah Awal Einstein Ditolak Kampus Hingga Jadi Juru Paten"